Senin, 31 Desember 2018

D-Tagatosa

D-Tagatosa: Gula Alternatif untuk Penderita Diabetes

D-tagatosa termasuk ke dalam monosakarida golongan ketoheksosa (Karabinos, 1952). D-tagatosa merupakan isomer dari D-galaktosa dan sangat jarang ditemukan di alam. Oleh karena itu D-tagatosa termasuk ke dalam golongan gula langka. Secara alami D-tagatosa dapat ditemukan pada getah S. setigera (Hirst et al. 1949). D-tagatosa memiliki struktur kimia yang mirip dengan fruktosa dan telah dikenal sebagai pemanis yang aman digunakan pada bahan pangan dan produk farmasi. Food and Drug Administration Amerika Serikat (US. FDA) telah menetapkan D-tagatosa sebagai komponen Generally Recognized As Safe (GRAS) (Levin 2002).

Perbandingan struktur molekul tagatosa dan fruktosa

Temperatur leleh (Tm) D-tagatosa berkisar 134 °C dan stabil pada pH 2-7. D-tagatosa memiliki kelarutan yang tinggi (58% (w/w) pada suhu 21°C). D-tagatosa merupakan gula reduksi dan akan mengalami reaksi karamelisasi pada temperatur tinggi sehingga akan menghasilkan warna coklat. Jika dibandingkan dengan sukrosa, D-tagatosa lebih mudah terurai pada temperatur yang lebih tinggi (Kim 2004; Levin 2002). D-tagatosa merupakan gula malabsorbing, gula ini dapat diserap dalam jumlah sedikit di usus kecil (Buemann et al. 1999a,b, 2000; Lærke dan Jensen 1999). Fraksi D-tagatosa yang tidak dapat diserap tubuh dapat ditemukan pada usus besar dan difermentasi oleh mikroflora usus (Bertelsen et al. 2001). D-tagatosa memiliki kemiripan rasa dan tingkat kemanisan (92%) dengan gula sukrosa namun tidak menimbulkan cooling effects setelah mengkonsumsinya (Levin et al 1995). Meskipun rasa D-tagatosa mirip dengan sukrosa, D-tagatosa tidak berperan dalam menghasilkan kalori (Levin 2002, Zehner dan Lee 1988).

Tabel 1 Karakteristik fisik dan kimia D-tagatosa (Levin 2002; Skytte 2006)
Karakteristik
Penjelasan
Nama umum
D-tagatosa, tagatosa
Sinonim
D-lyxo-hexulose­
Titik leleh
133-137 °C
Massa jenis (g/mL)
0.7-0.9
Bentuk fisik
Kristal
Nilai kalori
< 1.5 Kkcal/g
Cooling effect dan karsinogenesitas
Tidak ada

D-tagatosa bermanfaat bagi kesehatan karena berperan dalam penurunan berat badan (Buemann et al. 2000), tidak memiliki efek glikemik (Donner et al. 1999; Seri et al. 1993), dapat mengurangi gejala diabetes tipe 2, hiperglikemia, anemia, dan hemofilia (Levin 2002; Seri et al. 1993). D-tagatosa dapat digunakan sebagai pemanis rendah kalori dalam berbagai makanan, minuman, suplemen kesehatan, obat-obatan, dan pasta gigi, dll. D-tagatosa juga digunakan dalam sintesis senyawa aktif, dan sebagai bahan tambahan dalam detergen, kosmetik, dan formula obat-obatan (Ibrahim dan Spardlin 2000).

D-tagatosa dapat diproduksi dengan metode kimia menggunakan katalis kalsium (Beadle et al. 1991), namun metode kimia memiliki beberapa kelemahan seperti membutuhkan proses purifikasi yang kompleks, menghasilkan limbah kimia dan produk samping. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dikembangkan metode produksi D-tagatosa melalui proses biologis dengan menggunakan biokatalis. Pembentukan D-tagatosa secara biologi telah dipelajari menggunakan beberapa sumber biokatalis, seperti enzim sorbitol dehidrogenase yang dihasilkan oleh Arthrobacter globiformis (Izumori et al. 1984), Gluconobacter oxydans (Manzoni dan Rollini 2001; Rollini dan Manzoni 2005), Mycobacterium smegmatis (Izumori dan Tsuzaki 1988), Klebsiella pneumoniae (Shimonishi et al. 1994) dan Enterobacter agglomerans (Muniruzzanman et al. 1994) yang dapat mengkonversi D-galaktikol menjadi D-tagatosa (Rollini & Manzoni 2005). Selain itu, enzim D-psikosa 3-epimerase dari Agrobacterium tumefaciens (Kim et al. 2006) dan D-tagatosa 3-epimerase yang dihasilkan oleh Pseudomonas cichorii yang dapat mengkonversi D-sorbosa menjadi D-tagatosa (Itoh et al. 1994; Ishida et al. 1997; Yoshida et al. 2007). Namun, D-sorbosa dan D-galaktikol merupakan substrat yang mahal sehingga kecil kemungkinan untuk dapat diproduksi pada skala industri.

Mekanisme baru dalam memproduksi D-tagatosa adalah menggunakan mekanisme konversi D-galaktosa menjadi D-tagatosa (Cheetham dan Wootton 1993; Patel et al. 2016). E. agglomerans dapat menghasilkan D-tagatosa dari D-galaktosa ketika ditumbuhkan dalam media terinduksi L-arabinosa (Oh et al. 1998). Berdasarkan studi selajutnya ditemukan enzim L-AI dari mikroorganisme seperti E. coli dan Bacillus subtilis yang dapat mengkatalis konversi D-tagatosa dari D-galaktosa (Roh et al. 2000).

Penulis:  Suyatno Rindang 

Referensi:

  1. Beadle JR, Sauder JP, dan Wajada TJ. 1991. Process for manufacturing tagatosa. US patent 500261.
  2. Bertelsen H, Andersen H, Tvede M. 2001. Fermentation of D-tagatosa
  3. by human intestinal bacteria and dairy lactic acid bacteria. Microb Ecol Health Dis 13:87–95.
  4. Buemann B, Toubro S, Astrup A. 1999a. Human gastrointestinal tolerance to D-tagatosa. Regul Toxicol Pharmacol 29:S71–S77.
  5. Buemann B, Toubro S, Raben A, Astrup A. 1999b. Human tolerance to a single, high dose of D-tagatosa. Regul Toxicol Pharmacol 29: S66–S70.
  6. Buemann B, Toubro S, Raben A, Blundell J, Astrup A. 2000. The acute effect of D-tagatosa on food intake in human subjects. Br J Nutr 84:227–231.
  7. Cheetam PS, Wootton AN. 1993. Bioconversion of D-galactose to D-tagatosa. Enzyme MicrobTechnol15:105-108.
  8. Donner TW, Wilber JF, Ostrowski D. 1999. D-Tagatosa, a novel hexose: acute effects on carbohydrate tolerance in subjects with and without type 2 diabetes. Diabetes Obes Metab 1:285–291.
  9. Hirst EL, Hough L, dan Jones JKN. 1949. Composition of the gum of Stericulia setigera; occurrence of D-Tagatosa in nature. Nature 163 (4135):177. doi: 10.1038/163177b0.
  10. Ibrahim OO, Spradlin JE. 2000. Process for manufacturing D-tagatosa. US Patent 6057135.
  11. Ishida Y, Kamiya T, Itoh H, Kimura Y, Izumori K. 1997. Cloning and characterization of the D-tagatosa 3-epimerase gene from Pseudomonas cichorii ST-24. J Ferment Bioeng 83:529–34.
  12. Itoh H, Okaya H, Khan AR, Tajima S, Hayakawa S, Izumori K. 1994. Purification and characterization of D-tagatosa 3-epimerase from Pseudomonas sp. ST-24. Biosci Biotechnol Biochem 58:2168–2171.
  13. Izumori K, Miyoshi T, Tokuda S, Yamabe K. 1984. Production of D-tagatosa from ducitol by Arthrobacter globiformis. Appl Environ Microbiol 46:1055–1057.
  14. Izumori K, Tsuzaki K. 1988. Production of D-tagatosa from D-galactitol by Mycobacterium smegmatis. J Ferment Technol 66:225–227.
  15. Karabinos JV.1952. Psicose, sorbose and tagatosa. Adv Carbohydrate. Chem 7:99–136.
  16. Kim HJ, Hyun EK, Kim YS, Lee YJ, Oh DK. 2006. Characterization of an Agrobacterium tumefaciens D-psicose-3-epimerase that converts D-fructose to D-psicose. Appl Environ Microbiol 72:981–985.
  17. Kim P. 2004. Current studies on biological tagatosa production using L-arabinosa isomerase: a review and future perspective. Appl Microbiol Biotechnol 65:243–249.
  18. Lærke HN, Jensen BB. 1999. D-Tagatosa has low small intestinal digestibility but high large intestinal fermentability in pigs. J Nutr 129:1002–1009.
  19. Levin GV, Zehner LR, Saunders JP, Beadle JR. 1995. Sugar substitutes: their energy values, bulk characteristics, and potential health benefits. Am J Clin Nutr 62:S1161–S1168.
  20. Levin GV. 2002. Tagatosa, the new GRAS sweetener and health product. J Med Food 5:23–36.
  21. Manzoni M, Rollini M. 2001. Bioconversion of D-galactitol to tagatosa by acetic acid bacteria. Process Biochem 36:971–977.
  22. Muniruzzanman S, Tokunaga H, Izumori K. 1994. Isolation of Enterobacter agglomerans strain 221e from soil, a potent D-tagatosa producer from galactitol. J Ferment Bioeng 78:145–48.
  23. Oh DK, Roh HJ, Kim SY, Noh BS. 1998. Optimization of culture conditions for D-tagatosa production from D-galactose by Enterobacter agglomerans. Kor J Appl Microbiol Biotechnol.26:250–256.
  24. Patel MJ, Patel AT, Akhani R, Dedania S, Patel DH. 2016. Bioproduction of D-tagatosa from D-galactose using Phosphoglucose isomerase from Pseudomonas aeruginosa PAO1. Appl Biochem Biotechnol., vol. 179, pp. 712-727.
  25. Roh HJ, Kim P, Park YC, Choi JH. 2000. Bioconversion of D-galactose into D-tagatosa by expression of L-arabinosa isomerase. Biotechnol Appl Biochem 31:1–4.
  26. Rollini M, Manzoni M. 2005. Bioconversion of D-galactitol to tagatosa and dehydrogenase activity induction in Gluconobacter oxydans. Process Biochem. 40:437–444.
  27. Seri K, Sanai K, Negishi S, Akino T. 1993. Prophylactic and remedial preparation for diseases attendant on hyperglycemia, and wholesome food. European Patent 560284.
  28. Shimonishi T, Okumura Y, Izumori K. 1994. Production of D-tagatosa from galactitol by Klebsiella pneumoniae strain 40b. J Ferment Bioeng 78:145–148.
  29. Skytte UP. 2006. Tagatosa. Di dalam: Mitchell H, editor. Sweeteners and Sugar Alternatives in Food Technology. Oxford: Blackwell Publishing. hlm 262- 294.
  30. Yoshida H, Yamada M, Nishitani T, Takada G, Izumori K, Kamitori S. (2007) Purification, crystallization and preliminary X-ray diffraction studies of D-tagatosa 3-epimerase from Pseudomonas cichorii. Acta Crystallog Sect F Struct Biol Cryst Commun. 63:123–125.
  31. Zehner LR, Lee R. 1988. D-Tagatosa as a low-calorie carbohydrate sugar and bulking agent. European patent 257626.

Penyakit yang Disebabkan oleh Bakteri pada Manusia

Penyakit yang Disebabkan oleh Bakteri pada Manusia



Penyakit infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme dan bersifat menular. Salah satu penyebab penyakit infeksi yaitu bakteri. Bakteri tidak mengandung nukleus dan organel terikat-membran lainnya tetapi memiliki dinding sel yang tersisip di antara dua lapisan-ganda fosfolipid (bakteri gram negatif) atau berada di luar satu lapisan-ganda) bakteri gram-positif). Mikroorganisme ini dapat tumbuh di luar sel (misalnya Pneumococcus) atau di dalam sel (misalnya Mycobacterium tuberculosis). Bakteri merupakan penyebab utama penyakit infeksi yang berat. Orang normal membawa 1012 bakteri pada kulitnya (yang sebagian besar berupa Staphylococcus epidermidis dan Propionibacterium acnes) (Mitchell, 2008). Berikut beberapa nama bakteri dan penyakitnya pada manusia

1. Difteri
Defteria adalah infeksi bersifat toksik akut disebabkan oleh Corynebacterium diptheriae. Penyebaran yang utama adalah melalui udara, percikan nafas, kontak langsung dengan sekresi nafas dan eksudat dari lesi kulit. Setelah pemberian vaksinasi dengan cakupan luas, maka kejadian difteria menurun secara bermakna.Difteria menyerang sistem pernapasan dan kulit. Diagnosis difteri ditegakkan berdasar atas amnesis yaitu pasien dengan keluhan utama sesak nafas, dan keluhan tambahan demam tidak tinggi, batuk, sakit kepala, nafas mengorok, dan suara parau. Pasien difteria harus dirawat di ruang isolasi yang dilengkapi dengan fasilitas bantuan pernafasan sampai hasil biakan dari usap tenggorok/luka adalah negatif. Antitoksin difteria serum (ADS) diberikan segera setelah diagnosis klinik ditetapkan.

2. Tetanus
Tetanus adalah penyakit akut dengan gejalan spasme disebabkan oleh tetanospasmin suatu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus pada umumnya berhubungan dengan luka akibat cedera oleh benda kotor, melalui suntikan obat, bis ajuga terjadi melalui gigitan binatang, abses, gangrene, sirkumsisi, bisa juga karena pembedahan karena benang yang terkontaminasi. Tetanus menimbulkan kejang yang bersifat mendadak, kontraksi tonik yang kuat pada otot-otot sehingga posisi tangan mengepal, tangan fleksi dan aduksi. Prinsip pengobatan tetanus adalah meliputi eradikasi C. tetani, netralisasi toksin tetanus, mengatasi kejang, perawatan luka, dan mencegah kekambuhan.


3. Tuberkulosis
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycabacterium tuberculosis. Penularan penyakit ini terjadi melalui udara, namun jarang terjadi secara kontak dengan bahan sekresi. Penyakit ini menyerang sistem pernafasan, dengan gejala demam tak tinggi, batuk ringan, dan gejala menyerupai flu. Adapun obat untuk tuberculosis adalah Isoniazide, rifampin, pyrazinamide, stertomycin, ethambutol, dan Ethionamide. Yang paling penting untuk pengendalian TB adalah dengan vaksin, penelusuran kontak, dan pengobatan dalam jangka waktu yang tepat. BCG (Bacille Calmette-Guerrin) adalah satu0satunta vaksin yang ada untuk tubekrulosis.

4. Lepra
Lepra atau penyakit Hansen ialah penyakit infeksi grnaulomatus kronik disebabkan oleh Mycobacterium leprae, umumnya mengenai organ terutama kulit dan susunan saraf tepi, di samping dapat juga melibatkan mukosa pernafasan, testis, dan mata. Terdapat 3 jenis obat yang terbukti efektif untuk pengobatan lepra, ialah dapsone, rifampin, dan cloafazimine. Obat yang lain adalah ofloxacin, minocycline, dan clarithromyn.

5. Sifilis
Sifilis disebabkan oleh Treponemia pallidum, Infeksi ini ditulakrkan melalui seksual atau transpasental. Sifilis terbagi menjadi tiga yaitu sifilis primer, terjadi sekitar 3 minggu sesudah kontak seksual dengan orang yang terkena infeksi. Sifilis sekunder, terjadi 2 hingga 10 minggu kemudian sifilis tersier, terjadi pada sepertiga pasien yang tidak diobati, sesudah suatu periode laten yang lama.

6. Kolera
Kolera adalah penyakit infeksi akut yang mengenai saluran pencernaan disertai gejala diare hebat akibat dari pengaruh toksin yang diproduksi oleh Vibro cholera. Diagnosis kolera ditetapkan berdasarkan pada temuan klinik, diperoleh keluhan berupa diare hebat, tinja berwujud seperti air cucian beras disertai muntah. Adapun penyembuhan kolera meliputi pemberian cairan untuk mengganti cairan dan eletrolit yang terbuang, pemberian obat, dan pengaturan kembali pemberian makanan.


Penulis: Suyatno Rindang

Referensi:
  1. Mitchell, dkk. 2008. Dasar Patologis Penyakit. Jakarta:EGC
  2. Widagdo. 2011. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Infeksi pada Anak. Jakarta: CV Sagung Seto

TOKSIN Senyawa Toksin Ini Mengurangi Kesuburan Pria

Senyawa Toksin Ini Mengurangi Kesuburan Pria



Toksin adalah bahan kimia baik organik maupun anorganik yang bersifat membahayakan kelangsungan hidup suatu organisme. Pada mamalia jantan termasuk manusia, toksikan berpengaruh pada sistem kerja hormon yakni dimulai dengan urutan poros hipotalamus - hipofisis/pituitari testis. Steroidogenesis pada sel leydig yang terganggu akan berakibat hormon testosteron tidak berperan semestinya. Hormon gonadotropin juga terkena dampak negatif. Selain itu fungsi sel sertoli juga berkurang, sehingga secara keseluruhan fungsi reproduksi menurun bahkan ada toksikan yang menyebabkan sterilitas/mandul (1234).

Gambar 1. Poros Hipotalamus-Hipofisis/Pituitari-Testis

Contoh toksin yang menyebabkan dampak negatif terhadap reproduksi pria yakni senyawa alkaloid pada biji pinang yakni Arecoline. Senyawa alkaloid ini mampu menurunkan motilitas sperma, yakni adanya nekrosis pada sel spermatogonia, sel sertoli, dan sel leydig serta menyebabkan efek apoptosis pada jaringan testis. Pengaruh senyawa Arecoline tersebut mampu menekan sekresi hormon testosteron sehingga menurunkan proses kinerja sistem reproduksi pria (5). 

Contoh lain yakni pestisida berupa 1,2-dibromo-3-chloropropane (DBCP) yang mampu menurunkan kadar sperma dan bahkan menyebabkan azoospermia secara permanen. Pestisida tersebut mampu mereduksi metabolisme glukosa menjadi CO2 pada organ reproduksi pria seperti epididimis dan saluran ejakulasi sehingga mampu mengganggu proses spermatogenesis dan menyebabkan jumlah sperma menurun dan bahkan terjadi azoospermia (6).

Adapun beberapa agen kimiawi yang dapat mempengaruhi sistem reproduksi pria terangkum dalam Tabel.

Jenis Toksin
Efek
Logam berat 
Timbal (7)
Menurunkan jumlah sperma
Kadmium (8)
Menurunkan kualitas sperma
Krom (9)
Atrofi pada testis dan menurunkan jumlah sperma
Tembaga (10)
Menurunkan jumlah sperma
Pestisida
DBCP
Menurunkan jumlah sperma 
Ethylene di-bromide (11)
Menurunkan fungsi sperma
Carbaryl (12)
Menurunkan fungsi sperma
Pelarut
Ethylene glycol ether (13)
Menurunkan fungsi sperma
Phthalate esters (14)
Menurunkan fungsi sperma dan antifertilitas

TOKSIN Sudah Tahu Belum Berapa Lama Limbah Pencemaran dalam Tubuh Dikeluarkan?

Sudah Tahu Belum Berapa Lama Limbah Pencemaran dalam Tubuh Dikeluarkan?





Ada sebuah fakta yang jarang diketahui oleh sebagian besar masyarakat mengenai bahaya bahan pencemar yang masuk dalam tubuh kita. Lantas dari mana bahan-bahan tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia? Bahan tersebut dapat masuk ke dalam udara yang kita hirup, air yang kita minum, serta dari makanan yang kita konsumsi. Bahan pencemar itupun banyak sekali jenisnya misalnya logam berat, limbah organik, sisa obat-obatan, dan lain-lainya. Anda bisa membayangkan bagaimana rumah Anda kotor? Pasti lambat laun akan terjadi kerusakan kan? Hal demikian juga terjadi dalam tubuh Anda. 

Organ yang paling penting untuk membersihkan sampah-sampah dalam tubuh Anda adalah liver (hati) dan ginjal.  Organ tersebut bertugas sebagai “Cleaning Service” yang dengan tulus melayani sang pemiliki tubuh selama seumur hidup Anda. Coba bayangkan jika Anda menjadi petugas kebersihan dan tiba-tiba ada orang yang seenaknya buang sampah sembarangan, pasti Anda akan marah. Lain halnya dengan organ tubuh Anda, dia tidak bisa “marah” namun organ tersebut akan menjadi rusak dan tak berdaya akibat ulah kita yang sering mengotori tubuh sendiri.

Fokus kita bukan hanya bagaimana cara organ kita bekerja sebagai “tukang sapu” yang selalu membersihkan tubuh biologis kita. Kemampuan dalam membersihkan limbah dalam tubuh itu perlu waktu yang dalam dunia medis disebut dengan istilah Biological Half-Life. Waktu tiap bahan-bahan asing dalam tubuh kita dapat dibersihkan dalam hitungan jam, hari, bahkan puluhan tahun. Seperti Anda membersihkan noda kotor dalam rumah Anda, tentu akan berbeda waktu antara membersihkan debu, sisa minyak yang berserakan, dan noda cat yang tumpah di lantai rumah Anda. Pasti waktu untuk membersihkannya berbeda kan?

Kemudian berapa waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan limbah berbahaya dalam tubuh kita? Silahkan perhatikan tabel di bawah ini!


Itu adalah beberapa contoh toksin / racun yang sering beredar di sekitar kita. Masih ada ratusan toksin yang mengintai di sekitar kita. Anda jangan hanya fokus pada lamanya waktu juga, tapi bagaimana zat tersebut bereaksi di dalam organ tubuh kita mulai dari otak hingga darah Anda. Bahkan kemungkinan adanya akumulasi bahan berbahaya tersebut akibat terpapar secara berlebihan. Zat tersebut sangat merusak sistem tubuh Anda. Seperti merkuri yang bisa merusak saraf otak (lihat artikel berikut tentang Bahaya Merkuri Terhadap Otak) serta timbal yang bisa meracuni darah Anda.

Di zaman modern saat ini, kita sangat diuntungkan dengan kecanggihan teknologi namun kita dirugikan secara ekologis. Jagalah tubuh Anda dan minimalisir masuknya toksin-toksin yang ada di sekitar kita. Sering lakukan program detoksifikasi atau cleansing secara rutin untuk meringankan beban liver Anda. Program detoksifikasi merupakan pondasi kesehatan utama Anda. Semoga bermanfaat!

Health-Related Quality of Life of Patients with HPV-Related Cancers in Indonesia Didik Setiawan, PhD1,2,*, Arrum Dusafitri, BPharm2, Gi...