Senin, 31 Desember 2018

Struktur dan Fungsi Protein

Struktur dan Fungsi Protein


Protein adalah makromolekul yang paling banyak ditemukan di dalam sel makhluk hidup dan merupakan 50 persen atau lebih dari berat kering sel. Protein memiliki jumlah yang sangat bervariasi yang mulai dari struktur maupun fungsinya. Peranan protein diantaranya sebagai katalisator, pendukung, cadangan, sistem imun, alat gerak, sistem transpor, dan respon kimiawi. Protein-protein tersebut merupakan hasil ekspresi dari informasi genetik masing-masing suatu organisme tak terkecuali pada bakteri (Campbell et al., 2009; Lehninger et al., 2004). Protein dan gen memiliki hubungan yang sangat dekat dimana kode genetik berupa DNA dienkripsi dalam bentuk kromosom yang selanjutnya kode genetik tersebut ditranslasikan menjadi protein melalui serangkain mekanisme yang melibatkan RNA dan ribosom (Vo-Dinh, 2005).

PENYUSUN PROTEIN
Protein tersusun dari peptida-peptida sehingga membentuk suatu polimer yang disebut polipeptida. Setiap monomernya tersusun atas suatu asam amino. Asam amino adalah molekul organik yang memiliki gugus karboksil dan gugus amino yang mana pada bagian pusat asam amino terdapat suatu atom karbon asimetrik (Gambar 1). Pada keempat pasangannya yang berbeda itu adalah gugus amino, gugus karboksil, atom hidrogen, dan berbagai gugus yang disimbolkan dengan huruf R. Gugus R disebut juga sebagai Rantai samping yang berbeda dengan gugus amino. (Campbell et al., 2009).

Gambar 1. Struktur umum asam amino (Lehninger et al., 2004).


Gambar 2. Level dari struktur protein (Berg et al., 2006).

Asam amino dalam suatu protein memiliki bentuk L, terionisir dalam larutan, dan memiliki bentuk C asimetris kecuali asam amino jenis glisin. Asam amino standar memiliki jumlah sebanyak 20 macam. Dari 20 macam asam amino tersebut terbentuklah suatu rantai polipeptida. Rantai asam amino akan dilipat menjadi bentuk 3 dimensi dan menjadi bentuk protein spesifik yang diperlukan oleh berbagai aktivitas metabolisme atau menjadi komponen suatu sel (Lehninger et al., 2004; Vo-Dinh, 2005). Di dalam protein tersusun 20 macam asam amino yang memiliki karakteristik yang bebeda-beda sehingga dapat dikelompokkan berdasarkan sifat dan ciri rantai sampingnya (gugus R). Pengelompokan tersebut antara lain asam amino bersifat polar (serin, treonin, sistein, asparagin, dan glutamin); non-polar (glisin, alanin, prolin, valin, leusin, isoleusin, dan metionin); gugus aromatik (fenilalanin, tirosin, triptofan); bermuatan positif (lisin, histidin, arginin); dan bermuatan negatif (aspartat dan glutamat). Pengelompokan tersebut didasarkan pada polaritas, ukuran, dan bentuk dari suatu asam amino (Lehninger et al., 2004; Murray et al., 2009).

STRUKTUR PROTEIN
Protein yang tersusun dari rantai asam amino akan memiliki berbagai macam struktur yang khas pada masing-masing protein. Karena protein disusun oleh asam amino yang berbeda secara kimiawinya, maka suatu protein akan terangkai melalui ikatan peptida dan bahkan terkadang dihubungkan oleh ikatan sulfida. Selanjutnya protein bisa mengalami pelipatan-pelipatan membentuk struktur yang bermacam-macam. Adapun struktur protein meliputi struktur primer, struktur sekunder, struktur tersier, dan struktur kuartener (Gambar 2).  

 Gambar 3. Reaksi pembentukan peptida melalui reaksi dehidrasi (Voet & Judith, 2009).


 Gambar 4. Struktur primer dari protein (Campbell et al., 2009).

Struktur primer merupakan struktur yang sederhana dengan urutan-urutan asam amino yang tersusun secara linear yang mirip seperti tatanan huruf dalam sebuah kata dan tidak terjadi percabangan rantai (Gambar 4). Struktur primer terbentuk melalui ikatan antara gugus α–amino dengan gugus α–karboksil (Gambar 3). Ikatan tersebut dinamakan ikatan peptida atau ikatan amida (Berg et al., 2006; Lodish et al., 2003). Struktur ini dapat menentukan urutan suatu asam amino dari suatu polipeptida (Voet & Judith, 2009). 

Struktur sekunder merupakan kombinasi antara struktur primer yang linear  distabilkan oleh ikatan hidrogen antara gugus =CO dan =NH di sepanjang tulang belakang polipeptida. Salah satu contoh struktur sekunder adalah α-heliks dan β-pleated (Gambar 5 dan 6). Struktur ini memiliki segmen-segmen dalam polipeptida  yang terlilit atau terlipat secara berulang. (Campbell et al., 2009; Conn, 2008).
Gambar 5. Struktur sekunder α-heliks (Murray et al, 2009).


 Gambar 6. Struktur sekunder β-pleated (Campbell et al., 2009).


Struktur α-heliks terbentuk antara masing-masing atom oksigen karbonil pada suatu ikatan peptida dengan hidrogen yang melekat ke gugus amida pada suatu ikatan peptida empat residu asam amino di sepanjang rantai polipeptida (Murray et al, 2009).

Pada struktur sekunder β-pleated terbentuk melalui ikatan hidrogen antara daerah linear rantai polipeptida. β-pleated ditemukan dua macam bentuk, yakni antipararel dan pararel (Gambar 7 dan 8). Keduanya berbeda dalam hal pola ikatan hidrogennya. Pada bentuk konformasi antipararel memiliki konformasi ikatan sebesar 7 Å, sementara konformasi pada bentuk pararel lebih pendek yaitu 6,5 Å (Lehninger et al, 2004). Jika ikatan hidrogen ini dapat terbentuk antara dua rantai polipeptida yang terpisah atau antara dua daerah pada sebuah rantai tunggal yang melipat sendiri yang melibatkan empat struktur asam amino, maka dikenal dengan istilah β turn yang ditunjukkan dalam Gambar 9 (Murray et al, 2009).


 Gambar 7. Bentuk konformasi antipararel (Berg, 2006).


 Gambar 8. Bentuk konformasi pararel (Berg, 2006).
 

Gambar 9. Bentuk konformasi β turn yang melibatkan empat residu asam amino (Lehninger et al., 2004).

Struktur tersier dari suatu protein adalah lapisan yang tumpang tindih di atas pola struktur sekunder yang terdiri atas pemutarbalikan tak beraturan dari ikatan antara rantai samping (gugus R) berbagai asam amino (Gambar 10). Struktur ini merupakan konformasi tiga dimensi yang mengacu pada hubungan spasial antar struktur sekunder. Struktur ini distabilkan oleh empat macam ikatan, yakni ikatan hidrogen, ikatan ionik, ikatan kovalen, dan ikatan hidrofobik. Dalam struktur ini, ikatan hidrofobik sangat penting bagi protein. Asam amino yang memiliki sifat hidrofobik akan berikatan di bagian dalam protein globuler yang tidak berikatan dengan air, sementara asam amino yang bersifat hodrofilik secara umum akan berada di sisi permukaan luar yang berikatan dengan air di sekelilingnya (Murray et al, 2009; Lehninger et al, 2004).
 
Gambar 10. Bentuk struktur tersier dari protein denitrificans cytochrome C550 pada bakteri Paracoccus denitrificans(Timkovich and Dickerson, 1976).

Struktur kuarterner adalah gambaran dari pengaturan sub-unit atau promoter protein dalam ruang. Struktur ini memiliki dua atau lebih dari sub-unit protein dengan struktur tersier yang akan membentuk protein kompleks yang fungsional. ikatan yang berperan dalam struktur ini adalah ikatan nonkovalen, yakni interaksi elektrostatis, hidrogen, dan hidrofobik. Protein dengan struktur kuarterner sering disebut juga dengan protein multimerik. Jika protein yang tersusun dari dua sub-unit disebut dengan protein dimerik dan jika tersusun dari empat sub-unit disebut dengan protein tetramerik (Gambar 11) (Lodish et al., 2003; Murray et al, 2009).

  Gambar 11. Beberapa contoh bentuk struktur kuartener.

Pengertian dan Prinsip Kerja Real Time PCR

Pengertian dan Prinsip Kerja Real Time PCR



Real Time PCR adalah teknik yang digunakan untuk memonitor progress reaksi PCR pada waktu yang sama (Biosoft, 2007). RT-PCR juga dikenal sebagai quantitative PCR (qPCR). Jumlah produk PCR (DNA, cDNA atau RNA) yang relatif sedikit, dapat dihitung secara kuantitatif. 

Prinsip kerjanya didasarkan pada deteksi fluoresensi yang diproduksi oleh molekul reporter yang meningkat sejalan dengan berlangsungnya proses PCR. Hal ini terjadi karena akumulasi produk PCR pada tiap siklus amplifikasi. Molekul reporter dengan fluoresensi meliputi pewarna yang berikatan pada double-stranded DNA (menggunakan SYBR®Green atau EvaGreen®Reagents ) atau menggunakan probe spesifik sekuens/sequence specific probes (Molecular Beacons or TaqMan® Probes). 

Gambar 1. Contoh Mesin Real Time PCR

Analisis menggunakan Real time PCR memiliki sensitivitas tinggi dan lebih spesifik untuk produk PCR tertentu. Real time PCR juga meliputi Real Time-RT PCR dimana PCR dilakukan secara Real Time menggunakan enzim Reverse Transcriptase secara langsung pada waktu yang bersamaan. Real Time-RT PCR memiliki tambahan siklus Reverse Transcription yang memacu perubahan molekul DNA dari molekul RNA. Real Time-RT PCR diperlukan karena RNA kurang stabil dibandingkan dengan DNA.

Gambar 2. Proses Real Time PCR pada deteksi target non-spesifik (Fraga et al., 2008).

Pada prosedur Real Time PCR, molekul reporter dengan fluoresensi (pada Gambar 2 ditunjukkan dengan bagian berwarna hijau) digunakan untuk memonitor proses PCR. Fluoresensi akan dipendarkan oleh molekul sebagaimana terakumulasinya produk PCR pada tiap siklus proses amplifikasi. Berdasar pada molekul yang digunakan untuk deteksi, teknik Real Time PCR dapat dibedakan sebagai berikut: 

1. Deteksi target non-spesifik menggunakan pewarnaan DNA
Pada Real Time PCR, pewarna DNA digunakan sebagai reporter fluoresensi untuk memonitor reaksi Real Time PCR. Fluoresensi pada reporter akan terakumulasi seiring dengan proses amplifikasi yang berlangsung. Pencatatan secara kuantitatif dilakukan dengan menghitung pancaran fluresensi tiap siklus PCR. Hal tersebut mungkin untuk dilakukan guna memonitor reaksi PCR selama fase eksponensial.  Jika grafik digambarkan antara log jumlah awal template dan hubungan peningkatan fluoresensi reporter selama proses Real Time PCR, maka akan didapatkan suatu garis hubungan yang menunjukkan kuantitas gen yang diekspresikan.

2. Deteksi target spesifik
Deteksi target spesifik Real Time PCR dilakukan menggunakan beberapa probe oligonucleotide yang dilabeli pada dua bagian reporter dengan label (pewarna) fluoresensi/fluorescent dye dan pewarna quencher/ quencher dye


Kuantitas mRNA dalam sel merupakan parameter jumlah gen yang terekspresi. Untuk menganalisa tingkat ekspresi gen, cDNA yang telah disintesis dari mRNA diuji secara kuantitatif menggunakan real time PCR. Analisis hasil real time PCR dapat dilakukan secara absolute quantification dan relative quantitation. Metode relative quantitation atau yang dikenal juga dengan comparative threshold method menghilangkan kebutuhan akan kurva standar yang digunakan dalam perhitungan absolute quantification dan menggunakan perhitungan secara matematika untuk mengukur tingkat kuantitatif relatif ekspresi dari gen target dengan menggunakan gen referensi dan kalibrator dari jaringan (Arya et al., 2005).  

Untuk mengetahui ekspresi suatu gen maka dibutuhkan gen referensi sebagai pembanding internal (endogenous control) jumlah DNA agar tidak terjadi kesalahan interpretasi akibat jumlah DNA yang berbeda. Gen referensi yang digunakan adalah gen yang tidak terpengaruhi oleh lingkungan. Gen yang paling banyak digunakan adalah housekeeping gene seperti actin dan gliseraldehida-3-fosfat-dehidrogenase (GAPDH) (Bustin, 2000).

Hasil real time PCR dengan metode comparative threshold meliputi nilai Cq dan relative quantitation. Cq merupakan hasil fraksi jumlah siklus PCR dimana nilai reporter fluoresensi lebih besar dari tingkat deteksi minimal mesin real time PCR sehingga amplicon meningkat secara signifikan. Nilai Cq didapat dari jumlah siklus pada proses PCR yang berpotongan dengan garis threshold. Threshold adalah garis yang menandai peningkatan sinyal fluoresensi secara signifikan berdasarkan variabilitas baseline, namum posisi threshold dapat diatur bebas pada setiap titik di fase eksponensial (Life TechnologiesTM, 2012). 

Nilai relative quantitation dihitung berdasarkan satuan massa dengan rasio nilai Cq kalibrator dengan Cq sampel dengan bentuk rumus:

Rasio(sampel/kalibrator) = ECq (kalibrator)-Cq (sampel)

E adalah nilai efisiensi amplifikasi yang menjelaskan berapa banyaknya target yang diproduksi dalam setiap siklus PCR. Jika proses PCR efisien 100%, maka setiap siklus akan memproduksi dua kali lipat hasil dari template semula. E bernilai 2 jika amplifikasi PCR 100% efisien (Bio-Rad, 2006). Jika E bernilai 2, maka perhitungannya menjadi sebagai berikut:

Rasio(sampel/kalibrator) = 2Cq (kalibrator)-Cq (sampel) ;atau
Rasio(sampel/kalibrator) = 2DCq ; dimana DCq = Cq(kalibrator) – Cq(sampel)

Analisis relative quantitation menggunakan gen referensi yang umum digunakan adalah Livak Method atau yang dikenal juga dengan metode  2-DDCq dan metode Pfaffl. Pada metode ini diperlukan formula rumus alternatif untuk menentukan ekspresi relatif gen target pada sampel yang berbeda-beda (Pfaffl, 2001). 

Untuk menentukan rasio antara sampel dan kalibrator, digunakan rumus berikut ini:



Aplikasi dari Real Time PCR (Biosoft, 2007) antara lain digunakan sebagai studi expresi gen secara kuantitatif, penghitungan jumlah copy DNA (cDNA) pada genom atau DNAs virus,  analisis pembedaan alel atau genotiping Single Nucleotide Polymorphism SNP, untuk verifikasi hasil microarray, keefektifan obat terapi, penghitungan kerusakan DNA.

Perbedaan Real Time PCR dan PCR biasa yaitu, dengan Real Time PCR deteksi produk PCR dapat dihasilkan pada fase awal reaksi. PCR biasa hanya menggunakan Electrophoresis gel untuk deteksi produk amplifikasi PCR pada fase akhir, tanpa mengetahui jumlah produk PCR yang diekspresikan atau dihasilkan.

Prinsip, Metode, dan Teknik Isolasi DNA

Prinsip, Metode, dan Teknik Isolasi DNA



Molekul DNA dalam suatu sel dapat diekstraksi atau diisolasi untuk berbagai macam keperluan seperti amplifikasi dan analisis DNA melalui elektroforesis. Isolasi DNA dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan DNA dari bahan lain seperti protein, lemak, dan karbohidrat. Prisnsip utama dalam isolasi DNA ada tiga yakni penghancuran (lisis)ektraksi atau pemisahan DNA dari bahan padat seperti selulosa dan protein, serta pemurnian DNA (Corkill dan Rapley, 2008; Dolphin, 2008). Menurut Surzycki (2000), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses isolasi DNA antara lain harus menghasilkan DNA tanpa adanya kontaminan seperti protein dan RNA; metodenya harus efektif dan bisa dilakukan untuk semua spesies metode yang dilakukan tidak boleh mengubah struktur dan fungsi molekul DNA; dan metodenya harus sederhana dan cepat.

Isolasi DNA tanaman, isolasi DNA buah, isolasi DNA bakteri, dan isolasi DNA hewan pada dasarnya memiliki prinsip yang sama. Prisnsip isolasi DNA pada berbagai jenis sel atau jaringan pada berbagai organisme pada dasarnya sama namun memiliki modifikasi dalam hal teknik dan bahan yang digunakan. Bahkan beberapa teknik menjadi lebih mudah dengan menggunakan kit yang diproduksi oleh suatu perusahaan sebagai contoh kit yang digunakan untuk isolasi DNA pada tumbuhan seperti Kit Nucleon Phytopure sedangkan untuk isolasi DNA pada hewan digunakan GeneJETTM Genomic DNA Purification Kit. Namun tahapan-tahapan isolasi DNA dalam setiap langkahnya memiliki protokol sendiri yang disesuaikan dengan keperluan. Penggunaan teknik isolasi DNA dengan kit dan manual memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode konvensional memiliki kelebihan harga lebih murah dan digunakan secara luas sementara kekurangannya membutuhkan waktu yang relatif lama dan hasil yang diperoleh tergantung jenis sampel. 


Silahkan baca juga: Isolasi RNA


1. Tahapan Lisis

Tahap pertama dalam isolasi DNA adalah proses perusakan atau penghancuran membran dan dinding sel. Pemecahan sel (lisis) merupakan tahapan dari awal isolasi DNA yang bertujuan untuk mengeluarkan isi sel (Holme dan Hazel, 1998). Tahap penghancuran sel atau jaringan memiliki beberapa cara yakni dengan cara fisik seperti menggerus sampel dengan menggunakan mortar dan pestle dalam nitrogen cair atau dengan menggunakan metode freezing-thawing dan iradiasi (Giacomazzi et al., 2005). Cara lain yakni dengan menggunakan kimiawi maupun enzimatik. Penghancuran dengan menggunakan kimiawi seperti penggunaan detergen yang dapat melarutkan lipid pada membran sel sehingga terjadi destabilisasi membran sel (Surzycki, 2000). Sementara cara enzimatik seperti menggunakan proteinase K seperti untuk melisiskan membran pada sel darah (Khosravinia et al., 2007) serta mendegradasi protein globular maupun rantai polipeptida dalam komponen sel (Brown, 2010; Surzycki (2000). 

Pada proses lisis dengan menggunakan detergen, sering digunakan sodium dodecyl sulphate (SDS) sebagai tahap pelisisan membran sel. Detergen tersebut selain berperan dalam melisiskan membran sel juga dapat berperan dalam mengurangi aktivitas enzim nuklease yang merupakan enzim pendegradasi DNA (Switzer, 1999). Selain digunakan SDS, detergen yang lain seperti cetyl trimethylammonium bromide (CTAB) juga sering dipakai untuk melisiskan membran sel pada isolasi DNA tumbuhan (Bettelheim dan Landesberg, 2007). Parameter keberhasilan dalam penggunaan CTAB bergantung pada beberapa hal. Pertama, Konsentrasi NaCl harus di atas 1.0 M untuk mencegah terbentuknya kompleks CTAB-DNA. Karena jumlah air dalam pelet sel sulit diprediksi, maka penggunaan CTAB sebagai pemecah larutan harus dengan NaCl dengan konsentrasi minimal 1.4 M. Kedua, ekstrak dan larutan sel yang mengandung CTAB harus disimpan pada suhu ruang karena kompleks CTAB-DNA bersifatinsolublepada suhu di bawah 15°C. Ketiga, penggunaan CTAB dengan kemurnian yang baik akan menentukan kemurnian DNA yang didapatkan dan dengan sedikit sekali kontaminasi polisakarida. Setelah ditambahkan CTAB, sampel diinkubasikan pada suhu kamar. Tujuan inkubasi ini adalah untuk mencegah pengendapan CTAB karena CTAB akan mengendap pada suhu 15°C. Karena efektivitasnya dalam menghilangkan polisakarida, CTAB banyak digunakan untuk purifikasi DNA pada sel yang mengandung banyak polisakarida seperti terdapat pada sel tanaman dan bakteri gram negatif seperti Pseudomonas, Agrobacterium, dan Rhizobium (Surzycki, 2000). 

Dalam penggunaan buffer CTAB seringkali ditambahkan reagen-reagen lain seperti NaCl, EDTA, Tris-HCl, dan 2-mercaptoethanol. NaCl berfungsi untuk menghilangkan polisakarida sementara 2-mercaptoethanol befungsi untuk menghilangkan kandungan senyawa polifenol dalam sel tumbuhan (Ranjan et al., 2010). 2-mercaptoethanol dapat menghilangkan polifenol dalam sel tanaman dengan cara membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa polifenol yang kemudian akan terpisah dengan DNA (Lodhi et al., 1994). Senyawa polifenol perlu dihilangkan agar diperoleh kualitas DNA yang baik (Moyo et al., 2008). Polifenol juga dapat menghambat reaksi dari enzim Taq polimerase pada saat dilakukan amplifikasi. Disamping itu polifenol akan mengurangi hasil ektraksi DNA serta mengurangi tingkat kemurnian DNA (Porebskiet al., 1997). Penggunaan 2-mercaptoethanol dengan pemanasan juga dapat mendenaturasi protein yang mengkontaminasi DNA (Walker dan Rapley, 2008). 

Konsentrasi dan pH dari bufer yang digunakan harus berada dalam rentang pH 5 sampai 12. Larutan buffer dengan pH rendah akan mengkibatkan depurifikasi dan mengakibatkan DNA terdistribusi ke fase fenol selama proses deproteinisasi. Sedangkan pH larutan yang tinggi di atas 12 akan mengakibatkan pemisahan untai ganda DNA. Fungsi larutan buffer adalah untuk menjaga struktur DNA selama proses penghancuran dan purifikasi sehingga memudahkan dalam menghilangkan protein dan RNA serta mencegah aktivitas enzim pendegradasi DNA dan mencegah perubahan pada molekul DNA. Untuk mengoptimalkan fungsi larutan buffer, dibutuhkan konsentrasi, pH, kekuatan ion, dan penambahan inhibitor DNAase dan detergen (Surzycki 2000). 



2. Tahapan Ekstraksi

Pada tahapan ekstraksi DNA, seringkali digunakan chelating agent seperti ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA) yang berperan menginaktivasi enzim DNase yang dapat mendenaturasi DNA yang diisolasi, EDTA menginaktivasi enzim nuklease dengan cara mengikat ion magnesium dan kalsium yang dibutuhkan sebagai kofaktor enzim DNAse (Corkill dan Rapley, 2008). DNA yang telah diekstraksi dari dalam sel selanjutnya perlu dipisahkan dari kontaminan komponen penyusun sel lainnya seperti polisakarida dan protein agar DNA yang didapatkan memiliki kemurnian yang tinggi. Fenol seringkali digunakan sebagai pendenaturasi protein, ekstraksi dengan menggunakan fenol menyebabkan protein kehilangan kelarutannya dan mengalami presipitasi yang selanjutnya dapat dipisahkan dari DNA melalui sentrifugasi (Karp, 2008). Bettelheim dan Landesberg (2007) menyebutkan bahwa setelah sentrifugasi akan terbentuk 2 fase yang terpisah yakni fase organik pada lapisan bawah dan fase aquoeus (air) pada lapisan atas sedangkan DNA dan RNA akan berada pada fase aquoeus setelah sentrifugasi sedangkan protein yang terdenaturasi akan berada pada interfase dan lipid akan berada pada fase organik (Gambar 1). Selain fenol, dapat pula digunakan campuran fenol dan kloroform atau campuran fenol, kloroform, dan isoamil alkohol untuk mendenaturasi protein. Ekstrak DNA yang didapat seringkali juga terkontaminasi oleh RNA sehingga RNA dapat dipisahkan dari DNA ekstrak dengan cara pemberian RNAse (Birren, et al., 1997; Clark, 2010). 




Gambar 1. Asam nukleat berada pada lapisan air setelah disentrifugasi pada tahapan ekstraksi (Clark, 2010). 

Asam nukleat adalah molekul hidrofilik dan bersifat larut dalam air. Disamping itu, protein juga mengandung residu hidrofobik yang mengakibatkan protein larut dalam pelarut organik. Berdasarkan sifat ini, terdapat beberapa metode deproteinisasi berdasarkan pemilihan pelarut organik. Biasanya pelarut organik yang digunakan adalah fenol atau kloroform yang mengandung 4% isoamil alkohol. Penggunaan kloroform isoamil alkohol (CIA) berdasarkan perbedaan sifat pelarut organik. Kloroform tidak dapat bercampur dengan air dan kemampuannya untuk mendeproteinisasi berdasarkan kemampuan rantai polipeptida yang terdenaturasi untuk masuk atau termobilisasi ke dalam fase antara kloroform – air. Konsentrasi protein yang tinggi pada fase antara tersebut dapat menyebabkan protein mengalami presipitasi. Sedangkan lipid dan senyawa organik lain akan terpisah pada lapisan kloroform (Clark, 2010). 

Proses deproteinisasi yang efektif bergantung pada besarnya fase antara kloroform-air. Proses ini dapat dilakukan dengan membentuk emulsi dari air dan kloroform. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan penggojogan atau sentrifugasi yang kuat karena kloroform tidak dapat bercampur dengan air. Isoamil alkohol berfungsi sebagai emulsifier dapat ditambahkan ke kloroform untuk membantu pembentukan emulsi dan meningkatkan luas permukaan kloroform-air yang mana protein akan mengalami presipitasi. Penggunaan kloroform isoamil alkohol ini memungkinkan untuk didapatkan DNA yang sangat murni, namun dengan ukuran yang terbatas (20.000–50.000 bp). Fungsi lain dari penambahan CIA ini adalah untuk menghilangkan kompleks CTAB dan meninggalkan DNA pada fase aquoeus. DNA kemudian diikat dari faseaquoeus dengan presipitasi etanol (Surzycki, 2000). 


3. Tahapan Pemisahan DNA

Setelah proses ekstraksi, DNA yang didapat dapat dipekatkan melalui presipitasi (pemisahan). Pada umumnya digunakan etanol atau isopropanol dalam tahapan presipitasi. Kedua senyawa tersebut akan mempresipitasi DNA pada fase aquoeus sehingga DNA menggumpal membentuk struktur fiber dan terbentuk pellet setelah dilakukan sentrifugasi (Switzer, 1999).Hoelzel (1992) juga menambahkan bahwa presipitasi juga berfungsi untuk menghilangkan residu-residu kloroform yang berasal dari tahapan ekstraksi. 

Menurut Surzycki (2000), prinsip-prinsip presipitasi antara lain pertama, menurunkan kelarutan asam nukleat dalam air. Hal ini dikarenakan molekul air yang polar mengelilingi molekul DNA di larutan aquoeus. Muatan dipole positif dari air berinteraksi dengan muatan negatif pada gugus fosfodiester DNA. Interaksi ini meningkatkan kelarutan DNA dalam air. Isopropanol dapat bercampur dengan air, namun kurang polar dibandingkan air. Molekul isopropanol tidak dapat berinteraksi dengan gugus polar dari asam nukleat sehingga isopropanol adalah pelarut yang lemah bagi asam nukleat; kedua, penambahan isopropanol akan menghilangkan molekul air dalam larutan DNA sehingga DNA akan terpresipitasi; ketiga, penggunaan isopropanol dingin akan menurunkan aktivitas molekul air sehingga memudahkan presipitasi DNA. 

Pada tahapan presipitasi ini, DNA yang terpresipitasi akan terpisah dari residu-residu RNA dan protein yang masih tersisa. Residu tersebut juga mengalami koagulasinamun tidak membentuk struktur fiber dan berada dalam bentuk presipitat granular.Pada saat etanol atau isopropanol dibuang dan pellet dikeringanginkan dalam tabung, maka pellet yang tersisa dalam tabung adalah DNA pekat.Proses presipitasikembali dengan etanol atau isopropanol sebelum pellet dikeringanginkan dapat meningkatkan derajat kemurnian DNA yang diisolasi (Bettelheim dan Landesberg, 2007). Keller dan Mark (1989) menerangkan bahwa pencucian kembali pellet yang dipresipitasi oleh isopropanol dengan menggunakan etanol bertujuan untuk menghilangkan residu-residu garam yang masih tersisa. Garam-garam yang terlibat dalam proses ekstraksi bersifat kurang larut dalam isopropanol sehingga dapat terpresipitasi bersama DNA, oleh sebab itu dibutuhkan presipitasi kembali dengan etanol setelah presipitasi dengan isopropanol untuk menghilangkan residu garam (Ausubel et al., 2003). 

Setelah dilakukan proses presipitasi dan dilakukan pencucian dengan etanol, maka etanol kemudian dibuang dan pellet dikeringanginkan, perlakuan tersebut bertujuan untuk menghilangkan residu etanol dari pelet DNA. Penghilangan residu etanol dilakukan dengan cara evaporasi karena etanol mudah menguap (Surzycki, 2000). Pada tahap pencucian biasanya etanol dicampur dengan ammonium asetat yang bertujuan untuk membantu memisahkan kontaminan yang tidak diinginkan seperti dNTP dan oligosakarida yang terikat pada asam nukleat (Sambrook et al., 2001). 

Setelah pellet DNA dikeringanginkan, tahap selanjutnya adalah penambahan buffer TE ke dalam tabung yang berisi pellet dan kemudian disimpan di dalam freezer dengan suhu sekitar -20ºC. Verkuil et al. (2008) menyatakan bahwa buffer TE dan penyimpanan suhu pada -20ºC bertujuan agar sampel DNA yang telah diekstraksi dapat disimpan hingga waktu berminggu-minggu. Keller dan Mark (1989) juga menjelaskan bahwa pelarutan kembali dengan buffer TE juga dapat memisahkan antara RNA yang mempunyai berat molekul lebih rendah dibandingkan DNA sehingga DNA yang didapatkan tidak terkontaminasi oleh RNA dan DNA sangat stabil ketika disimpan dalam keadaan terpresipitasi pada suhu -20ºC. 



Gambar 2. Proses pufrifikasi DNA dengan menggunakan metode silika dan kolom kromatografi (a) proses pengikatan DNA ke silika dengan bantuan perubahan konsentrasi garam, (b) DNA dielusi untuk memperoleh DNA (Brown, 2010). 



Kit Isolasi DNA

Isolasi DNA juga dapat dilakukan dengan menggunakan kit yang sudah diproduksi oleh beberapa perusahan untuk mempermudah dan mempercepat proses isolasi DNA. Kit isolasi juga disesuaikan dengan kebutuhan oleh konsumen dan jenis sel yang akan digunakan. Berikut adalah bagan contoh isolasi DNA tanaman dengan menggunakan Kit Nucleon Phytopure yang disajikan pada Gambar 3. 




Gambar 3. Bagan isolasi DNA dengan menggunakan kit phytopure. 
Klik gambar untuk memperbesar. 


Penulis:

Suyatno Rindang


Referensi:
  1. Ausubel, F. M. et al. 2003. Current Protocols in Molecular Biology. 
  2. Bettelheim & Landesberg. 2007. Laboratory experiments for general organic and biochemistry. 
  3. Clark, Melody S. 1997. Plant Molecular Biology : A laboratory manual.
  4. Dolphin, W. D. 2008. Biological Investigations. 
  5. Hoelzel, A. R. 1992. Molecular Genetic Analysis of Populations. 
  6. Holme, D. J. & Hazel P. 1998. Analytical Biochemistry.
  7. Karp, Gerald. 2008. Cell and Molecular Biology.
  8. Keller, G. H. & Mark M. M. 1989. DNA probes. 
  9. Khosravinia, H. & Ramesha, K. P. 2007. Influence of EDTA and magnesium on DNA extraction from blood samples and specificity of polymerase chain reaction.African Journal of Biotechnology 6 (3), pp. 184-187
  10. Surzycki, S. 2000. Basic techniques in molecular biology.
  11. Switzer. 1999. Experimental biochemistry. 
  12. Verkuil, E. v. P., Alex van B., & John P. H. 2008. Principles and technical aspects of PCR amplification. 
  13. Walker, J. M. & Ralph R. 2008. Molecular Biomethods Handbook. 

Health-Related Quality of Life of Patients with HPV-Related Cancers in Indonesia Didik Setiawan, PhD1,2,*, Arrum Dusafitri, BPharm2, Gi...