Senin, 31 Desember 2018

IMUNOLOGI Transplantasi

Transplantasi


Transplantasi adalah proses pemindahan suatu organ atau jaringan tubuh (graft) dari jaringan atau organ pendonor ke penerima. Proses pemindahan penggantian suatu jaringan atau organ yang rusak dengan organ donor yang sehat mampu untuk meningkatkan kualitas hidup bagi banyak pasien. Transplantasi ginjal yang sukses untuk pertama kali terjadi pada tahun 1954 (Suthanthiran, dkk 2001).

A. Klasifikasi Pemindahan Jaringan/Organ (Graft)
Berdasarkan hubungan antara donor dan resipien, pemindahan jaringan/organ terbagi atas empat tipe yaitu:
  1. Autograft (Autologous Graft) adalah proses pemindahan jaringan/organ yang berasal dari suatu individu dan digunakan untuk dirinya sendiri.
  2. Allograft (Allogeneic Graft) / Allogeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ antarindividu dimana individu-individu tersebut masih satu spesies.
  3. Isograft (Isogeneic Graft) / Syngeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ antarindividu yang secara genetic kembar identik.
  4. Xenograft / Xenogeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ antarindividu yang berbeda spesies (Shetty 2005).
Gambar 1. Tipe Transplantasi (Burmester & Pezzuto, 2003).

B. Mekanisme Penolakan Jaringan/Organ
Histocompatibility adalah kesesuaian suatu jaringan pada jaringan/organ tertentu untuk ditransplantasikan dari pendonor ke resipien. Gen yang menyandikan antigen, yang mengatur penyesuaian suatu pemindahan jaringan/organ untuk bertahan dalam tubuh resipien, terletak dalam daerah Major Histocompability Complex (MHC). Pada manusia, MHC terletak pada lengan pendek kromosom enam, sementara pada tikus terletak pada kromosom tujuh belas. Letak gen spesifik pada kromosom yang mengode antigen histocompatibility disebut histocompability locus. Pada manusia, histocompability loci disebut HLA (Human Leukocyte Antigen). MHC class I dan II berperan penting dalam transplantasi jaringan, semakin besar kecocokan antara donor dan resipien, semakin besar pula kemungkinan tandur untuk bertahan ditubuh pendonor.

Gambar 2. Lokus Histokompabilitas Mayor pada Berbagai Spesies (Cruse, dkk 2004).

Reaksi imun yang dapat menimbulkan penolakan terhadap transplan bersifat spesifik yang disertai dengan memori. Contohnya adalah allograft pertama pada kulit ditolak dalam 10--14 hari, maka allograft kedua dari individu yang sama dicangkokkan lagi maka resipien akan menolak lebih cepat lagi yaitu dalam 5-7 hari (Baratawidjaja, 1991)

Gambar 3. Mekanisme Penghancuran Sel Target (Roitt & Delves 2001).

Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel T helper resipien yang mengenal antigen MHC alllogeneic. Sel tersebut akan menolong sel T sitotoksik yang juga mengenal antigen MHC allogeneic dan membunuh sel sasaran. Kemungkinan lain yaitu makrofag menuju tempat transplan atas perintah limfokin dari sel T helper sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi penolakan disebut juga Graft versus Host Reaction (Baratawidjaja 1991). Rekasi penolakan tersebut antara lain:
  1. Penolakan hiperakut. Penolakan tersebut terjadi setelah beberapa menit sampai beberapa jam setelah transplantasi. Penolakan terjadi karena perusakan oleh antibodi yang sudah ada terhadap transplan. Antibodi tersebut mengaktifkan komplemen yang menimbulkan edema dan pendarahan interstisial dalam jaringan transplan sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh jaringan. Gejala umum yang terlihat pada penolakan hiperakut adalah trombosis dengan kerusakan endotil dan nekrosis. Selain itu adalah badan mengalami panas, leukositosis dan produksi urin sedikit. Urin mengandung elemen seluler seperti eritrosit.
  2. Penolakan akut. Merupakan penolakan yang terlihat pada resipien yang sebelumnya tidak tersensitasi terhadap transplan. Merupakan penolakan umum yang terjadi pada resipien yang menerima transplan yang mismatch (tidak cocok) atau yang menerima allograft dan pengobatan imunosupresif yang tidak efisien dalam usaha mencegah penolakan. Penolakan dapat terjadi beberapa hari setalah transplantasi. Akibatnya adalah fungsi ginjal yang tidak berfungsi, perbesaran ginjal disertai rasa sakit, penurunan fungsi dan aliran darah, dan adanya se darah dan protein dalam urin. Penolakan akut dapat dihambat dengan cara imunosupresi oleh serum antilimfosit, steroid, dan lainnya.
  3. Penolakan kronik. Penolakan yang dapat terjadi pada transplantasi allograft beberapa bulan sesudah organ berfungsi normal dan disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen transplan. Jika terdapat infeksi maka akan mempermudah timbulnya penolakan kronik. Pengobatan dengan imunosupresi tidak banyak berguna karena kerusakan sudah terjadi. Contoh dari penolakan kronik adalah gagal ginjal yang terjadi perlahan-lahan dan progresif karena terjadi prolifersai sel inflamasi pada pembuluh darah kecil dan penebalan membran glomerulus basal.
  4. Reaksi allograft. Transplantasi organ atau jaringan dari donor syngeneic (isograft) dengan cepat diterima resipien dan berfungsi normal. Transplan organ dari donor allogeneic akan diterima untuk sementara waktu dan mengalami vaskularisasi. Penolakan tergantung pada derjat inkompabilitasnya. Reaksi penolakan umumnya terjadi sesuai respons CMI. Reaksi yang terjadi adalah invasi transplan oleh limfosit dan monosit melalui pembuluh darah dan menimbulkan kerusakan pembuluh darah dan nekrosis.
  5. Penyakit Graft versus Host (GvHD). Merupakan keadaan yang terjadi jika sel yang imunokompeten asal donor mengenal dan memberikan respon imun terhadap jaringan resipien. Jika sel T yang matang dan imuokompeten ditransfusikan kepada resipien yang allogeneic dan tidak ada yang menolaknya maka sel tersebut bereaksi dengan hospes dan menimbulkan reaksi CMI diberbagai tempat. Sel-sel yang diserang adalah sel MHC kelas II. Gejala dari reaksi GvH adalah pembesaran kelenjar limfoid, limpa, hati, diare, radang kulit, rambut rontok, berat badan menurun, dan meninggal. Kematian disebabkan oleh kerusakan sel penjamu (punya antigen MHC kelas II) dan jaringan akibat respons CMI yang berlebih. Reaksi GvH dapat terjadi akibat transplantasi sumsum tulang kepada resipien dengan supresi sistem imun atau akibat transfusi darah segar kepada neonatus yang imunodefisien. Hal tersebut mudah terjadi jika sebelum transplantasi atau transfusi, usaha menghilangkan sel T matang yang imunokompeten tidak maksimal. Oleh karena itu penolakan normal oleh resipien terhadap limfosit yang ditransfusikan tidak terjadi (Baratawidjaja 1991)

C. Pencegahan terhadap Penolakan Jaringan/Organ
Uji Histokompatibilitas (Histocompability testing) adalah uji untuk menentukan dari tipe MHC class I dan class II pada jaringan/organ yang akan ditransplantasi, baik pada donor maupun resipien. HLA tissue typing adalah indentifikasi dari antigen Kompleks Histokompabilitas Mayor (MHC) kelas I dan II pada limfosit dengan teknik serologis dan selular. Class-I typing melibatkan reaksi antara sel limfosit yang ingin diuji dengan antisera dari HLA yang telah diketahui spesifitasnya dengan kehadiran komplemen. Class-II typing mendeteksi antigen HLA-DR mengunakan preparasi sel B yang telah dipurifikasi. Pengujian tersebut didasarkan pada disrupsi membran sel limfosit yang antibody-specific dan complement-dependent (Cruse, dkk 2004). Prinsip dari pengujian secara serologis adalah microlymphocytotoxicity menggunakan piring mikrotiter (microtiter plate) yang didalamnya terdapat predispensed antibody dengan spesifitas terhadap HLA dari limfosit yang akan diuji, dan ditambah dengan komplemen kelinci dan pewarna vital. Metode ini digunakan untuk pengujian organ transplan seperti allotransplantasi ginjal. Pada transplantasi sumsum tulang (bone-marrow), prosedur yang digunakan disebut Mixed Lymphocyte Reaction. Prosedur ini digunakan untuk mengukur derajat relatif dari histokompabilitas antara pendonor dan resipien (Cruse & Lewis 2003)

Tes cross-match (Cross-matching test) adalah salah satu metode pengujian yang digunakan untuk mendeteksi kehadiran dari antibody preformed (presensitization) pada antigen HLA pendonor menggunakan serum dari pasien dan sel limfosit pendonor. Hasil tes cross-match yang positif menjadi kontraindikasi terhadap transplantasi, hal ini karena hasil dari tes cross-match dapat diasosiasikan dengan episode penolakan yang tak terkontrol, yang berujung pada kehilangan jaringan permanen (irreversible graft loss) (Suthanthiran, dkk 2001).

Selain melakukan pengujian terhadap histokompabilitas antigen yang dilakukan sebelum (prior) transplantasi, hal yang dapat dilakukan juga dengan pemberian obat imunosupresan. Imunosupresan dapat digunakan untuk mengontrol penolakan tandur dengan cara menekan respon imun tubuh resipien. Obat-obatan yang digunakan untuk menekan penolakan antara lain:



Adapun, mekanisme imunosupresan dalam mengontrol penolakan tandur dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 4. Agen Immunosuppressive digunakan untuk mengontrol penolakan jaringan (Roitt & Delves 2001)

Gambar 5. Mekanisme Imunosupresan Cyclosporin, FK506 and Rapamycin (Roitt & Delves 2001)

Referensi:
  • Bratawijaya, KG & Rengganis, I. 2009. Imunologi Dasar. 
  • Burmester, G. R & A. Pezzuto. 2003. Color Atlas of Immunology. 
  • Cruse, M. J. dkk. 2004. Immunology Guidebook. 
  • Cruse, M. J. & Lewis, R. E. 2003. Illustrated Dictionary of Immunology 2nd ed. 
  • Roitt, I. M & P. J. Delves. 2001. Roitt's Essential Immunology 10th ed. 
  • Shetty, Nandini. 2005. Immunology: Introductory Textbook. 
  • Suthanthiran, Manikkam, dkk. 2001. Clinical Transplantation in Medical Immunology, 10th ed. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Health-Related Quality of Life of Patients with HPV-Related Cancers in Indonesia Didik Setiawan, PhD1,2,*, Arrum Dusaļ¬tri, BPharm2, Gi...