Senin, 31 Desember 2018

IMUNOLOGI Teori Pembentukan Antibodi

Teori Pembentukan Antibodi





1. Akhir-akhir ini banyak teori tentang pembentukan antibodi. Pada prinsipnya setiap teori antibodi harus dapat menerangkan berbagai fakta yang sudah diketahui. Sebutkan fakta-fakta tersebut!
  • Antibodi bersifat spesifik pada antigen, termasuk pembuatannya.
  • Hewan dapat merespon pemasukan antigen dalam jumlah besar secara stimultan.
  • Satu sel umumnya membentuk antibodi yang homogeny dan bersifat spesifik.
  • Pembentukan antibodi terdiri atas dua fase, yaitu fase induksi dan fase produksi.
  • Informasi spesifik dari respons anamnestik terdapat pada sel limfoid.
  • Toleransi terhadap “antigen diri sendiri” terdapat selama hidup.
  • Toleransi terhadap antigen dari luar dapat diinduksi secara artificial.
  • Kemampuan hewan untuk membuat suatu antibodi atas antigen tertentu ditentukan secara genetis.
  • Pemasukan dari antigen tertentu dapat secara kompetitif menghalangi respons antibodi terhadap antigen lain.
  • Peningkatan kekuatan ikatan pada antibodi kelas tertentu diikuti perpanjangan stimulasi oleh antigen.
  • Tempat reaksi antibodi ditentukan oleh urutan asam amino yang memiliki porsi yang beragam pada rantai berat dan ringan.
  • Antigen belum terdeteksi pada sel pembentuk antibodi.
  • Autoantibodi mungkin terbentuk terhadap antigen yang tidak terakses.
  • Jumlah sel yang terstimulti oleh sebuah antigen berukuran kecil.

2. Ada tiga kategori umum tentang pembentukan antibodi. Sebutkan dan jelaskan satu persatu dari teori itu!
  • Teori instruksi. Teori ini pertama kali diformulasikan untuk menyesuaikan bahwa fakta terdapat begitu banyak antigen yang dapat direspon oleh tubuh hewan, jumlahnya bahkan bisa mencapai ribuan. Diperkirakan bahwa sel yang memproduksi antibodi tidak memiliki informasi genetis sebanyak itu untuk mengenali seluruh antigen secara spesifik. Teori ini menjelaskan bahwa sel dimungkinkan memproduksi antibodi yang sesuai dengan antigen karena antigen masuk dan memberikan istruksi ke dalam sel untuk memproduksi antibodi. Berdasarkan teori ini dikatakan bahwa determinan dari antigen berperan sebagai template untuk membuat konfigurasi paratope yang sesuai. Berdasarkan pengamatan sekarang ini diketahui bahwa antibodi yang memiliki spesifisitas yang berbeda memiliki perbedaan urutan dan komposisi asam amino pada rantai peptida nya. Diketahui juga bahwa molekul antibodi tetap bisa terbentuk menjadi spesifik melalui proses pelipatan protein bahkan tanpa adanya keberadaan antigen, artinya spesifisitas dari antibodi tidak dipengaruhi oleh adanya molekul antigen atau tidak.
  • Teori Seleksi. Teori seleksi dinyatakan oleh Elrich dan menyatakan bahwa setiap sel pada tubuh memiliki konfigurasi permukaan yang dinamakan sebagai rantai sampingan. Rantai sampingan itu bisa bereaksi secara selektif dengan berbagai materi. Pada kasus proses pembentukan antibodi diketahui bahwa sel distimulasi oleh antigen untuk membentuk rantai sampingan dalam jumlah besar berupa antibodi.
  • Teori Germ-line. Berdasarkan teori germ-line dikatakan bahwa gen structural yang mengatur proses pembentukan antibodi ditransmisikan dari sel bakteri ke sel somatic, termasuk di dalamnya adalah sel lymphoid, dan turunannya. Sehingga menurut teori ini setiap sel yang telah terinduksi diasumsikan mengandung informasi genetis dari bakteri untuk memproduksi antibodi yang sesuai dengan bakteri.

3. Apakah Burnet’s modified clonal selection theory itu? Atas dasar apakah teori ini dibuat?
Teori pembentukan antibodi menurut Burnet’s modified clonal selection theory menyatakan bahwa stem sel menghasilkan “inducible cell” yang bersifat sangat mudah bermutasi dalam jumlah yang banyak. Setiap selnya memiliki kemampuan untuk memberi respons terhadap antigen determinan yang diberikan. “Inducible cell” yang telah merespons antigen determinan akan berproliferasi menjadi sangat banyak dan berdiferensiasi. Produk dari diferensiasi adalah berupa antigen yang disekresikan. Dasar dari teori modified clonal selection theory antara lain:
  • Inducible cell dalam jumlah yang banyak dan dalam berbagai jenis yang berbeda-beda terdapat dalam hewan dewasa, setiap selnya membawa molekul yang menyerupai antibodi dan mampu bereaksi secara spesifik dengan antigen determinan.
  • Hasil reaksi induksi menunjukkan pembentukan antibodi
  • Setiap inducible cell dapat bereaksi dengan beberapa jenis dari antigen determinan yang berkaitan. Apabila ikatan antara antigen dan antibodi tidak terlalu cocok maka akan tetap berikatan namun dengan kekuatan yang lemah, dan reaksi yang terjadi juga lemah.
  • Tingkat toleransi yang terdapat pada embrio lebih tinggi dibandingkan pada usia dewasa.

IMUNOLOGI Reaksi Hipersensitivitas

Reaksi Hipersensitivitas


1. Apakah yang dimaksud dengan hipersensitivitas?
Pengertian hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan terhadap antigen sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas dapat berupa respon humoral yaitu intermediate hypersensitivity atau respon seluler (cell- mediated) yaitu delayed hypersensitivity. Kehipersensitivan menandakan tingginya reaksi imun terhadap antigen

2. Sebutkan klasifikasi reaksi hipersensitivitas!
Reaksi hipersensitivitas diklasifikasikan oleh Coombs dan Gell pada tahun 1963. Klasifikasi tersebut dibagi menjadi 4 macam reaksi, yaitu:
  • Tipe I, yaitu reaksi hipersensitivitas alergi biasa akibat terpapar oleh alergen. Reaksi ini diperkenalkan oleh Portier dan Richet. 
  • Tipe II, yaitu reaksi hipersensitivitas yang terjadi akibat reaksi antigen-antibodi, termasuk reaksi sitotoksik.
  • Tipe III, yaitu reaksi imun kompleks yang terdeposit di jaringan tubuh, termasuk reaksi komplemen;.
  • Tipe IV, yaitu reaksi hipersensitivitas yang terjadi akibat antigen mensensitisasi sel T dalam penglepasan limfokin. Sitokin tersebut dapat menginduksi terjadinya reaksi imflamasi dan mengaktifkan makrofag yang nantinya akan menyebabkan penglepasan mediator imflamasi.

3. Apakah yang dimaksud dengan alergi?
Alergi terjadi karena terpapar dengan reaksi pada kontak kedua kali dengan antigen. Saat ini, alergi lebih dikenal dengan istilah reaksi hipersensitivitas tipe I. Alergi juga terjadi karena terdapat induksi dari allergen, yaitu agen (pollen, debu, bulu hewan, dll) yang dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh antigen IgE.

4. Jelaskan mengenai mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I!
Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah reaksi anafilatik. Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat atau reaksi alergi karena timbul segera setelah bdan terpapar dengan alergen. Alergi adalah reaksi pejamu yang berubah jika terpapar dengan bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. Alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE. Urutan kejadiannya adalah
  • Fase sensitisasi: Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan basofil.
  • Fase aktivasi: Waktu selama terjadi pemaparan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya yang berisikan granual yang menimbulkan reaksi.
  • Fase efektor: Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan-bahan yang dilepas mastosit dengan aktivitas farmakologik.

Secara umum, reaksi hipersensitivtas mempunyai urutan reaksi yaitu antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th. IgE kemudian diikat oleh mastosit atau basofil melalui reseptor Fc. Apabila tubuh terpapar ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastosit atau basofil. Akibat ikatan antigen-IgE, mastosit atau basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator antara lain histamin, yang menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I.


IMUNOLOGI Transplantasi

Transplantasi


Transplantasi adalah proses pemindahan suatu organ atau jaringan tubuh (graft) dari jaringan atau organ pendonor ke penerima. Proses pemindahan penggantian suatu jaringan atau organ yang rusak dengan organ donor yang sehat mampu untuk meningkatkan kualitas hidup bagi banyak pasien. Transplantasi ginjal yang sukses untuk pertama kali terjadi pada tahun 1954 (Suthanthiran, dkk 2001).

A. Klasifikasi Pemindahan Jaringan/Organ (Graft)
Berdasarkan hubungan antara donor dan resipien, pemindahan jaringan/organ terbagi atas empat tipe yaitu:
  1. Autograft (Autologous Graft) adalah proses pemindahan jaringan/organ yang berasal dari suatu individu dan digunakan untuk dirinya sendiri.
  2. Allograft (Allogeneic Graft) / Allogeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ antarindividu dimana individu-individu tersebut masih satu spesies.
  3. Isograft (Isogeneic Graft) / Syngeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ antarindividu yang secara genetic kembar identik.
  4. Xenograft / Xenogeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ antarindividu yang berbeda spesies (Shetty 2005).
Gambar 1. Tipe Transplantasi (Burmester & Pezzuto, 2003).

B. Mekanisme Penolakan Jaringan/Organ
Histocompatibility adalah kesesuaian suatu jaringan pada jaringan/organ tertentu untuk ditransplantasikan dari pendonor ke resipien. Gen yang menyandikan antigen, yang mengatur penyesuaian suatu pemindahan jaringan/organ untuk bertahan dalam tubuh resipien, terletak dalam daerah Major Histocompability Complex (MHC). Pada manusia, MHC terletak pada lengan pendek kromosom enam, sementara pada tikus terletak pada kromosom tujuh belas. Letak gen spesifik pada kromosom yang mengode antigen histocompatibility disebut histocompability locus. Pada manusia, histocompability loci disebut HLA (Human Leukocyte Antigen). MHC class I dan II berperan penting dalam transplantasi jaringan, semakin besar kecocokan antara donor dan resipien, semakin besar pula kemungkinan tandur untuk bertahan ditubuh pendonor.

Gambar 2. Lokus Histokompabilitas Mayor pada Berbagai Spesies (Cruse, dkk 2004).

Reaksi imun yang dapat menimbulkan penolakan terhadap transplan bersifat spesifik yang disertai dengan memori. Contohnya adalah allograft pertama pada kulit ditolak dalam 10--14 hari, maka allograft kedua dari individu yang sama dicangkokkan lagi maka resipien akan menolak lebih cepat lagi yaitu dalam 5-7 hari (Baratawidjaja, 1991)

Gambar 3. Mekanisme Penghancuran Sel Target (Roitt & Delves 2001).

Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel T helper resipien yang mengenal antigen MHC alllogeneic. Sel tersebut akan menolong sel T sitotoksik yang juga mengenal antigen MHC allogeneic dan membunuh sel sasaran. Kemungkinan lain yaitu makrofag menuju tempat transplan atas perintah limfokin dari sel T helper sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi penolakan disebut juga Graft versus Host Reaction (Baratawidjaja 1991). Rekasi penolakan tersebut antara lain:
  1. Penolakan hiperakut. Penolakan tersebut terjadi setelah beberapa menit sampai beberapa jam setelah transplantasi. Penolakan terjadi karena perusakan oleh antibodi yang sudah ada terhadap transplan. Antibodi tersebut mengaktifkan komplemen yang menimbulkan edema dan pendarahan interstisial dalam jaringan transplan sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh jaringan. Gejala umum yang terlihat pada penolakan hiperakut adalah trombosis dengan kerusakan endotil dan nekrosis. Selain itu adalah badan mengalami panas, leukositosis dan produksi urin sedikit. Urin mengandung elemen seluler seperti eritrosit.
  2. Penolakan akut. Merupakan penolakan yang terlihat pada resipien yang sebelumnya tidak tersensitasi terhadap transplan. Merupakan penolakan umum yang terjadi pada resipien yang menerima transplan yang mismatch (tidak cocok) atau yang menerima allograft dan pengobatan imunosupresif yang tidak efisien dalam usaha mencegah penolakan. Penolakan dapat terjadi beberapa hari setalah transplantasi. Akibatnya adalah fungsi ginjal yang tidak berfungsi, perbesaran ginjal disertai rasa sakit, penurunan fungsi dan aliran darah, dan adanya se darah dan protein dalam urin. Penolakan akut dapat dihambat dengan cara imunosupresi oleh serum antilimfosit, steroid, dan lainnya.
  3. Penolakan kronik. Penolakan yang dapat terjadi pada transplantasi allograft beberapa bulan sesudah organ berfungsi normal dan disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen transplan. Jika terdapat infeksi maka akan mempermudah timbulnya penolakan kronik. Pengobatan dengan imunosupresi tidak banyak berguna karena kerusakan sudah terjadi. Contoh dari penolakan kronik adalah gagal ginjal yang terjadi perlahan-lahan dan progresif karena terjadi prolifersai sel inflamasi pada pembuluh darah kecil dan penebalan membran glomerulus basal.
  4. Reaksi allograft. Transplantasi organ atau jaringan dari donor syngeneic (isograft) dengan cepat diterima resipien dan berfungsi normal. Transplan organ dari donor allogeneic akan diterima untuk sementara waktu dan mengalami vaskularisasi. Penolakan tergantung pada derjat inkompabilitasnya. Reaksi penolakan umumnya terjadi sesuai respons CMI. Reaksi yang terjadi adalah invasi transplan oleh limfosit dan monosit melalui pembuluh darah dan menimbulkan kerusakan pembuluh darah dan nekrosis.
  5. Penyakit Graft versus Host (GvHD). Merupakan keadaan yang terjadi jika sel yang imunokompeten asal donor mengenal dan memberikan respon imun terhadap jaringan resipien. Jika sel T yang matang dan imuokompeten ditransfusikan kepada resipien yang allogeneic dan tidak ada yang menolaknya maka sel tersebut bereaksi dengan hospes dan menimbulkan reaksi CMI diberbagai tempat. Sel-sel yang diserang adalah sel MHC kelas II. Gejala dari reaksi GvH adalah pembesaran kelenjar limfoid, limpa, hati, diare, radang kulit, rambut rontok, berat badan menurun, dan meninggal. Kematian disebabkan oleh kerusakan sel penjamu (punya antigen MHC kelas II) dan jaringan akibat respons CMI yang berlebih. Reaksi GvH dapat terjadi akibat transplantasi sumsum tulang kepada resipien dengan supresi sistem imun atau akibat transfusi darah segar kepada neonatus yang imunodefisien. Hal tersebut mudah terjadi jika sebelum transplantasi atau transfusi, usaha menghilangkan sel T matang yang imunokompeten tidak maksimal. Oleh karena itu penolakan normal oleh resipien terhadap limfosit yang ditransfusikan tidak terjadi (Baratawidjaja 1991)

C. Pencegahan terhadap Penolakan Jaringan/Organ
Uji Histokompatibilitas (Histocompability testing) adalah uji untuk menentukan dari tipe MHC class I dan class II pada jaringan/organ yang akan ditransplantasi, baik pada donor maupun resipien. HLA tissue typing adalah indentifikasi dari antigen Kompleks Histokompabilitas Mayor (MHC) kelas I dan II pada limfosit dengan teknik serologis dan selular. Class-I typing melibatkan reaksi antara sel limfosit yang ingin diuji dengan antisera dari HLA yang telah diketahui spesifitasnya dengan kehadiran komplemen. Class-II typing mendeteksi antigen HLA-DR mengunakan preparasi sel B yang telah dipurifikasi. Pengujian tersebut didasarkan pada disrupsi membran sel limfosit yang antibody-specific dan complement-dependent (Cruse, dkk 2004). Prinsip dari pengujian secara serologis adalah microlymphocytotoxicity menggunakan piring mikrotiter (microtiter plate) yang didalamnya terdapat predispensed antibody dengan spesifitas terhadap HLA dari limfosit yang akan diuji, dan ditambah dengan komplemen kelinci dan pewarna vital. Metode ini digunakan untuk pengujian organ transplan seperti allotransplantasi ginjal. Pada transplantasi sumsum tulang (bone-marrow), prosedur yang digunakan disebut Mixed Lymphocyte Reaction. Prosedur ini digunakan untuk mengukur derajat relatif dari histokompabilitas antara pendonor dan resipien (Cruse & Lewis 2003)

Tes cross-match (Cross-matching test) adalah salah satu metode pengujian yang digunakan untuk mendeteksi kehadiran dari antibody preformed (presensitization) pada antigen HLA pendonor menggunakan serum dari pasien dan sel limfosit pendonor. Hasil tes cross-match yang positif menjadi kontraindikasi terhadap transplantasi, hal ini karena hasil dari tes cross-match dapat diasosiasikan dengan episode penolakan yang tak terkontrol, yang berujung pada kehilangan jaringan permanen (irreversible graft loss) (Suthanthiran, dkk 2001).

Selain melakukan pengujian terhadap histokompabilitas antigen yang dilakukan sebelum (prior) transplantasi, hal yang dapat dilakukan juga dengan pemberian obat imunosupresan. Imunosupresan dapat digunakan untuk mengontrol penolakan tandur dengan cara menekan respon imun tubuh resipien. Obat-obatan yang digunakan untuk menekan penolakan antara lain:



Adapun, mekanisme imunosupresan dalam mengontrol penolakan tandur dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 4. Agen Immunosuppressive digunakan untuk mengontrol penolakan jaringan (Roitt & Delves 2001)

Gambar 5. Mekanisme Imunosupresan Cyclosporin, FK506 and Rapamycin (Roitt & Delves 2001)

Referensi:
  • Bratawijaya, KG & Rengganis, I. 2009. Imunologi Dasar. 
  • Burmester, G. R & A. Pezzuto. 2003. Color Atlas of Immunology. 
  • Cruse, M. J. dkk. 2004. Immunology Guidebook. 
  • Cruse, M. J. & Lewis, R. E. 2003. Illustrated Dictionary of Immunology 2nd ed. 
  • Roitt, I. M & P. J. Delves. 2001. Roitt's Essential Immunology 10th ed. 
  • Shetty, Nandini. 2005. Immunology: Introductory Textbook. 
  • Suthanthiran, Manikkam, dkk. 2001. Clinical Transplantation in Medical Immunology, 10th ed. 

IMUNOLOGI Toleransi Imunologi

Kajian Lengkap: Toleransi Imunologi

Toleransi Imunologi (Immunological Tolerance) adalah ketidakmampuan dari sistem imunitas untuk memberikan respons (unresponsiveness) terhadap suatu antigen dikarenakan induksi dari antigen yang sama sebelumnya. Sel limfosit yang berhadapan dengan antigen dapat menjadi aktif dan menghasilkan respons imun, ataupun dapat menjadi tidak aktif atau tereliminasi dan menghasilkan toleransi. Antigen yang menyebabkan toleransi disebut tolerogen (tolerogenic antigens). Toleransi terhadap antigen yang diproduksi tubuh (self-antigen) disebut sebagai self-tolerance (Abbas, dkk 2007).

Sistem imun pada dasarnya dipegang oleh dua sel utama, yakni sel limfosit B (berperan dalam respons humoral) dan sel limfosit T (berperan dalam respons seluler). Ketidakmampuan kedua sel tersebut dalam memberikan respons terhadap antigen spesifiknya dikenal dengan istilah anergyLymphocyte anergy (disebut clonal anergy) adalah kegagalan dari klona sel B ataupun sel T untuk bereaksi terhadap antigen dan menjadi representasi terhadap mekanisme untuk mempertahankan toleransi imunologi tubuh sendiri (Cruse & Lewis, 2003).

Dasar dari mekanisme toleransi imunologi ditemukan sekitar tahun 1945 dimana, Owen melakukan observasi terhadap kembar sapi non-identik (dizygotic) yang saling berbagi sirkulasi plasental yang sama dan mengembangkan toleransi terhadap antigen dari sel darah satu sama lain. Fenomena ini kemudian diteliti lebih lanjut oleh Burnet dan Fenner. Mereka menduga bahwa suatu antigen yang mencapai sel limfoid, dimana perkembangan imunitasnya belum matang, akan menekan respons terhadap antigen yang sama saat paparan berikutnya dan hewan tersebut secara imunologi telah matang. Percobaan lebih lanjut dilakukan oleh Medawar, Brent, dan Billingham menggunakan transplantasi kulit pada tikus. Medawar dan rekannya menemukan prinsip penting bahwa toleransi imunologi dapat terjadi karena adanya induksi dari suatu antigen pada suatu masa perkembangan limfosit dan proses induksi tersebut dapat dilakukan secara buatan (artificial) (Roitt & Delves, 2001).

Gambar 1. Percobaan yang dilakukan oleh Medawar, Brent, dan Billingham 
menggunakan transplantasi kulit pada tikus.


Proses induksi toleransi (induced tolerance) ini kemudian dijelaskan dalam dua tipe, yakni toleransi sentral (central tolerance) dan toleransi peripheral (peripheral tolerance). Toleransi sentral dijelaskan sebagai toleransi yang timbul selama perkembangan dari sel limfosit, sementara toleransi peripheral dijelaskan sebagai toleransi yang timbul setelah sel limfosit meninggalkan organ perkembangan primer (Shetty, 2005). Toleransi sentral (central tolerance) terjadi pada organ primer/sentral dari perkembangan sel limfosit, yakni thymus pada sel T dan sumsum tulang pada sel B. Selama perkembangan sel B dan sel T di sumsum tulang dan thymus, kehadiran antigen yang terdapat pada organ tersebut umumnya hanya berupa antigen sendiri (self-antigen). Hal ini dikarenakan antigen asing dari lingkungan luar, tidak akan ditrasport ke dalam timus, melainkan ditangkap dan ditransportasikan menuju organ limfoid perifer (Abbas, dkk 2007).

Paparan terhadap antigen sendiri dengan dosis tinggi akan memicu sel limfosit muda (immature) mengalami beberapa kemungkinan selama toleransi sentral, yakni sel tersebut akan apoptosis (disebut juga clonal deletion), beberapa sel B muda yang tidak mati akan mengalami perubahan pada reseptor mereka sehingga tidak mengenali antigen sendiri (proses ini disebut juga receptor editing), dan beberapa CD4+ akan berdeferensiasi menjadi sel T regulator (biasa disebut sel T suppressor) yang kemudian bermigrasi ke organ perifer dan mencegah respons terhadap antigen sendiri. Toleransi peripheral terjadi saat limfosit dewasa yang mampu mengenal antigen sendiri akan kehilangan kemampuannya dalam memberikan respons (disebut anergy), turunnya viability sel, dan terinduksi memicu apoptosis (Abbas, dkk 2007).

Sel B dapat menjadi toleransi terhadap suatu antigen melalui empat tahapan peristiwa, yaitu clonal abortion, clonal exnaustion, functional deletion, dan tahap terakhir adalah AFC blockadeClonal abortion adalah peristiwa ketika pertama kali sel B yang belum matang bertemu dengan suatu antigen dalam jumlah yang kecil. Kondisi seperti ini diduga dapat memicu pembatalan pematangan sel B untuk memicu respons imun, hal tersebut mengakibatkan tidak terjadinya respons imun terhadap antigen tersebut. Peristiwa clonal exhaustion terjadi jika terjadi paparan terhadap suatu antigen yang bersifat T-independent dapat menyebabkan terjadinya clonal exhaustion. Hal tersebut mengakibatkan AFC dari sel B yang terbentuk berusia pendek dan akhirnya tidak lagi tersedia sel yang dapat merespons antigen. Peristiwa delesi fungsional disebabkan oleh keberadaan antigen yang dependent terhadap sel T maupun yang bersifat independen. Terjadinya delesi fungsional disesbabkan oleh tidak adanya bantuan dari sel T untuk melawan antigen tersebut sehingga sel B tidak dapat merespons secara normal. Dosis antigen yang sangat besar dapat mengakibatkan terjadinya penghambatan pembentukan sel AFC sehingga antibodi tidak terbentuk.

Jalur toleransi pada sel T secara umum memiliki kemiripan dengan sel B. Terdapat tiga tahapan yaitu clonal abortion, functional deletion, dan suppression sel T. Clonal abortion adalah tahapan dimana sel T yang belum matang dapat dihambat proses pematangannya dengan cara yang mirip dengan sel B. Functional deletion terjadi saat sel T yang matang fungsinya dihambat oleh paparan terhadap antibodi. Sel T suppression bekerja dengan melepaskan materi penekan sel T sehingga dapat menghambat fungsi sel T yang telah matang untuk mengenali antigen.

Sel T dan sel B memiliki karakteristik toleransi yang berbeda antar satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan karakteristik tersebut meliputi waktu induksi, dosis antigen, keberadaan antigen, spesifisitas antigen, dan durasi antigen. Waktu induksi yang dimiliki oleh sel T berbeda dengan sel B dan bergantung pada jenis antigennya. Pada antigen dependent sel T, sel T dapat terinduksi dengan cepat sedangkan sel B terinduksi dalam waktu yang lebih lama, yaitu sekitar empat hari. Sedangkan pada antigen yang independent terhadap sel T, antigen tersebut lebih cepat menginduksi toleransi pada sel B.

Dosis antigen yang diberikan juga akan berpengaruh pada induksi terhadap toleransi. Dosis antigen yang diperlukan untuk menginduksi toleransi sel B perlu lebih banyak dibandingkan jumlah antigen yang diperlukan untuk menginduksi toleransi sel T. Diperkirakan perlu antigen sejumlah 100-1000 kali lebih banyak untuk menginduksi sel B dibandingkan jumlah antigen yang diperlukan untuk menginduksi sel T. Keberadaan suatu antigen juga dapat sangat memengaruhi toleransi yang terbentuk sehingga akan berpengaruh juga terhadap waktu lamanya paparan suatu antigen.

Spesifisitas suatu antigen juga berpengaruh terhadap respons toleransi yang terbentuk. Diketahui bahwa suatu toleransi terbentuk secara spesifik untuk epitope tertentu, bukan terhadap antigen tertentu. Hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya toleransi terhadap berbagai jenis antigen yang memiliki kesamaan determinan.

Obat imunosupresif tidak dapat memproduksi toleransi antigen-spesifik jika obat tersebut berfungsi secara seimbang pada klona yang mudah dirangsang. Beberapa obat imunosupresif dapat berfungsi secara spesifik terhadap derivat limfosit, contohnya cyclosporin A mempengaruhi hanya sel T. Obat imunosupresif dapat membuat keadaan antigen-spesifik dengan melibatkan elemen antigen spesifik pada tolerizing regimen, yaitu saat obat berfungsi sebagai kofaktor dalam tolerogenesis. Obat imunosupresif dapat bekerja dengan salah satu dari dua cara berikut: Pertama, dengan merendahkan level dimulainya induksi toleransi. Kedua, dengan memblok sekuen yang berdiferensiasi pada sel yang dipicu oleh antigen.

Obat imunosupresif seperti cyclophosphamide bekerja pada sel T dan B yaitu meningkatkan sensitivitas sel B terhadap tolerogenesis terhadap mekanisme normal dan aktivitas tersebut berhubungan dengan ketidakmampuan sel B diobati dengan cyclophosphamide untuk meregenerasi reseptor immunoglobulin untuk antigen pada permukaan sel B. Sel B neonatal tidak dapat meregenerasi reseptor permukaan setelah mengadakan kontak dengan antigen dan proses capping. Capping merupakan prosedur yang permukaan dari immunoglobulin teragregasi saat dilapisi oleh anti-immunoglobulin sehingga membran bebas dari reseptor immunoglobulin.


Referensi:
  • Abbas, A. K., dkk. 2007. Cellular and Molecular Immunology. 
  • Cruse, J. M. & Lewis, R. E. 2003. Illustrated Dictionary of Immunology. 
  • Cruse, M. J., dkk. 2004. Immunology Guidebook. London. 
  • Roitt, I. M & P. J. Delves. 2001. Roitt's Essential Immunology 10th ed. 
  • Shetty, Nandini. 2005. Immunology: Introductory Textbook. 

Health-Related Quality of Life of Patients with HPV-Related Cancers in Indonesia Didik Setiawan, PhD1,2,*, Arrum Dusafitri, BPharm2, Gi...